Pages

Tuesday, January 21, 2014

Film yang Inspiratif : Homeless to Harvard



Homeless to Harvard adalah film yang diangkat dari kisah nyata Elizabeth “Liz” Murray yang sangat inspiratif. Di film ini diceritakan bagaimana  perjuangan Liz Murray gadis pintar yang mempunyai ibu pecandu obat-obatan dan pengidap HIV harus tinggal di jalanan, di subway dan station subway sampai di rumah penampungan para homeless, tetapi bisa mendapat beasiswa dari New York Times untuk kuliah di Harvard yang merupakan kampus bergengsi di dunia dengan memenangkan kontes penulisan essay yang diadakan oleh New York Times. Film ini diproduksi tahun 2003.

Film ini dimulai dengan ibu Liz Murray yang merampas uang 100 dollar dari kakak perempuan Liz Murray yang merupakan uang untuk hidup beberapa hari bahkan mungkin beberapa bulan ke depan untuk membeli narkoba. Liz Murray dan kakaknya mencoba meyakinkan ibunya bahwa uang itu untuk biaya hidup mereka, namun sang ibu yang sudah sakaw tidak bisa lagi berpikir sehat untuk semua itu. Mereka berebutan dan membuat rumah mereka sangat berantakan. Sementara sang ayah tidak mempedulikan semua kekacauan itu dan hanya membaca bukunya dan menjawab soal-soal di kuis Jeopardy dengan tepat. Liz Murray yang melihat ibunya kesakitan akibat sakau akhirnya mau memberikan uang itu. Ketika istrinya berhasil mendapat uang itu, si suami menemani sang istri untuk membeli obat-obatan itu. Sudah bisa terbayang khan kondisi yang sangat buruk bagi seorang perempuan kecil. Beberapa hari kemudian polisi dan petugas kesehatan mendatangi rumah Liz Murray dan membawa ibunya ke rumah sakit untuk terapi dari ketergantungan obat-obatan. 

 Keesokan harinya Liz Murray ke sekolah yang merupakan kehadiran ke-3 di bulan itu. Liz Murray di sekolah menjadi cemoohan kawan-kawannya karena bau badannya, pakaiannya tidak diganti dan Liz Murray jarang mandi. Bahkan ketika akan diadakan test, gurunya akan menarik kembali soal yang dibagikan kepada Liz Murray karena yakin Liz Murray tidak akan mampu menyelesaikan soal tersebut. Liz Murray berhasil meyakinkan ibu guru bahwa soal tidak terlalu susah dan dia dapat mengerjakannya. Di akhir kelas ibu guru menahan Liz Murray sejenak untuk memberi beberapa potong pakaian bekas dan mengingatkan untuk mandi. Ibu guru juga memberikan hasil test yang tertulis nilai 100, perfect. Ibu guru jadi penasaran dan bertanya bagaimana dia bisa menyelesaikan soal test dengan sempurna padahal dia tidak pernah ke sekolah ? Liz Murray menjelaskan kalau dia diberikan satu paket ensiklopedi yang dipungut dari tempat sampah seorang wanita tua bernama Eva yang merupakan tetangga flatnya memberikannya. Dan Liz Murray sudah membaca semuanya kecuali ensiklopedi dengan indeks R-S.


Ketika Liz Murray pulang dia memperlihatkan nilainya dengan bangga kepada Eva yang telah memberikannya ensiklopedi, Eva berpesan supaya jangan menjadi anak idiot dan menginfokan kalau ibunya sudah kembali. Mendengar ibunya kembali Liz Murray sangat senang dan berlari ke flat mereka untuk bertemu dengan ibunya dan memperlihatkan hasil testnya yang perfect. Liz Murray sangat bahagia bisa berkumpul kembali dengan ibunya yang berangsur mulai terlepas dari narkoba. Namun kembali Liz Murray harus dihadapkan dengan kondisi sulit, ibunya di vonis mengidap HIV dan dia akan pindah ke rumah kakeknya.

Karena kondisi ayahnya seorang pengangguran dan rumah yang sangat kotor, berantakan dan tidak terurus dan juga laporan dari sekolah kalau Liz Murray Murray tidak pernah ke sekolah akhirnya petugas dari dinas sosial akhirnya memutuskan untuk mengirim Liz Murray ke tempat penampungan anak-anak. Di tempat ini kondisinya jauh lebih buruk. Liz Murray kadang menjadi korban bully senior-senior di penampungan itu. Dia juga beberapa kali harus melihat tindakan penyiksaan bahkan usaha pembunuhan dari sesama penghuni penampungan itu.

Tidak tahan dengan kondisi itu, Liz Murray akhirnya harus kabur dari tempat itu dan menyusul ibunya di rumah kakeknya. Di rumah kakeknya Liz Murray sudah sedikit menikmati kebersamaan dengan ibunya kembali dan mulai bergaul dengan teman-teman sekolahnya. Tapi ketika kondisi ibunya terus memburuk Liz Murray harus merawat ibunya dan lagi-lagi dia harus mengorbankan sekolahnya. Sikap temperament kakeknya juga membuat akhirnya Liz Murray harus diusir dari rumah itu dan saat itulah di usia 15 tahun Liz Murray resmi menjadi homeless. Bersama teman sekolahnya Chris (Makyla Smith) yang juga tidak mempunyai tempat tinggal mereka tinggal di jalan, di halte bus, stasiun subway dan dimana saja mereka dapat berteduh dengan mengandalkan pemberian orang dengan mengemis untuk bertahan hidup. Kadang mereka berdua harus mencuri di minimarket untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Yang mengagumkan dalam kondisi homeless dan tidak ada kepastian tentang masa depan Liz Murray tidak berhenti untuk membaca apa saja dan dimana saja.

Beberapa hari kemudian ketika dia akan menemui ibunya dia mengetahui kalau ibunya sudah meninggal. Penguburannya bahkan sangat sederhana dan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.

Tetapi rupanya ini yang peristiwa ini menjadi titik balik bagi Liz Murray. Liz menyadari bahwa sekarang saatnya untuk memperhatikan dan peduli pada dirinya dan masa depannya sendiri. Liz akhirnya memutuskan untuk kembali ke bersekolah dan dia memilih menumpang di kediaman Eva, wanita pemberi ensiklopedi dan berpesan supaya tidak menjadi idiot.

Keesokan harinya dia ke sekolah untuk mendaftar tetapi dia terlambat, satu jam dari perjanjian yang dibuat dengan pihak sekolah. Alasan yang coba dibuat tentang keterlambatannya tidak diterima. Dia diberitahu oleh pihak admin sekolah bahwa kelasnya sudah hampir penuh dan sudah berjalan 3 minggu. Namun dia berhasil meyakinkan pihak admin bahwa dia sangat membutuhkan kesempatan untuk sekolah. Akhirnya dia diberikan kesempatan untuk berbicara dengan David yang merupakan decision maker, yang sedang mengajar. Sambil menunggu David Liz Murray mengisi formulirnya bahkan membuat essay yang disyaratkan.  

Setelah mengajar David terlihat sibuk dan tidak menerima Liz lagi. Namun Liz meminta hanya 30 detik untuk berbicara dengan David. David mengatakan siswa harus menulis essay yang panjang dan Liz memperlihatkan kalau dia sudah menulisnya. Kahirnya Dvid pun memberikan kesempatan kepada Liz untuk berbicara. Di perbincangan itu Liz Murray menjelaskan latar belakang keluarganya dan latar belakang pendidikannya. Liz menjelaskan dengan baik bahkan berhasil meyakinkan David bahwa dia pintar, dia bisa sukses tapi dia membutuhkan kesempatan untuk diterima bersekolah. Liz Murray berhasil membuat David simpati dengan Liz. Akhirnya dia pun diterima.

Di kelas ini Liz Murray kembali menunjukkan bahwa dia memang sangat cerdas. Bekal pengetahuannya dari sering membaca membuatnya bisa menjawab soal-soal yang diberikan di kelas dan membuat David selaku guru tercengang. Suatu hari siswanya bertanya apa mengapa mereka tidak menggunakan textbook dalam belajar melainkan hanya paper-paper ? Tetapi David balik bertanya kepada siswanya menurut mereka mengapa kelasnya tidak menggunakan textbook dalam belajar.
Jawaban salah satu temannya “karena textbook terlalu berat untuk dibawa”. Jawaban yang lain “karena sekolah tidak mampu membeli textbook yang harganya mahal”.
Tidak puas dengan jawaban kedua siswanya David melemparkan sebuah textbook kepada Liz dan bertanya apa yang diliat di textbook itu. Liz menjawab, bahwa yang dilihat adalah kata-kata. David bertanya, “kata-kata apa ?” “Kata-kata dari seorang author” jawab Liz. Terus David bertanya apa bedanya dengan paper yang dia pegang. ? Jawab Liz, “di paper itu kata-kata banyak penulis”. David bertanya, “terus mengapa mereka menggunakan paper dan bukan textbook ? Liz menjawab “karena satu dari satu orang hanya memberi satu penjelasan dari satu dimensi”. Dan jawaban itu membuat Liz mendapat banyak hadiah dari David.

Liz Murray juga mengambil kelas terbanyak diantara semua murid-murid yang lain. Dia mentargetkan untuk menyelesaikan sekolah 4 tahun itu hanya dalam 2 tahun.  Selain mengambil jumlah pelajaran yang lebih banyak Liz juga harus kerja keras sebagai pencuci piring di restoran untuk membiayai hidupnya. Ia menyempatkan mengerjakan tugas-tugas sekolah sebaik mungkin, Kadang dia harus tinggal di sekolah sampai malam. Dia juga mengisi waktu perjalanan di subway dengan membaca atau mengerjakan tugas. Selain itu dia juga menempelkan kertas-kertas materi pelajarannya di dinding saat mencuci piring sehingga bisa terus belajar dan membaca materi-materi itu.

Karena Liz adalah siswa terbaik di kelasnya dia diberi kesempatan bersama teman-temannya untuk berkunjung ke Boston untuk melihat universitas-universitas di Boston selama 5 hari. Di Harvard University semua murid tercengang dengan kampus top dunia itu. David memberi motivasi bahwa dia bisa kuliah di Harvard dan itu bukan hal yang tidak mungkin.



Sepulang dari Harvard, Liz memeriksa semua brosur-brosur yang menginformasikan beasiswa. Dan Dona memperlihatkan sebuah brosur dari New York Times yang akan memberikan beasiswa sebesar USD 12,000 setahun selama 4 tahun. Dan seperti syarat beasiswa umumnya pelamar harus menyertakan essay singkat yang menggambarkan apa yang akan dicapai sebagai prestasi akademik yang paling signifikan, juga menggambarkan bagaimana menghadapi tantangan atau hambatan.

Dalam essaynya Liz menulis mungkin terlihat gila, tetapi dia tidak punya pilihan, dia harus melakukan semua hal untuk bisa mendapatkan beasiswa itu walaupun harus mengerahkan semua potensinya. Dia harus kuliah di Harvard untuk membaca buku-buku terbaik di sana dan mengembangkan potensi dirinya. Dia ingin menjadi sejajar dengan orang lain dan tidak berada di bawah mereka walaupun dia lahir dari keluarga yang broken home bahkan homeless.

Satu hari menjelang deadline aplikasi beasiswa tepat di ulang tahunnya yang ke 18, Liz meminta Dona memberikan stempel di aplikasi beasiswanya. Dona heran karena Liz telah membaca info itu 4 bulan yang lalu tetapi baru akan mengirimnya satu hari menjelang penutupan pendaftaran padahal beasiswa tersebut tidak mensyaratkan usia. Kepada Dona Liz mengatakan kalau dia menunggu waktu spesial itu untuk mengirim berkas tersebut. Mungkin sebagai hadiah untuk diri sendiri. Tetapi ada alasan lain yang tidak dikatakan kepada Dona, bahwa dengan usia 18 tahun dia bebas berkata jujur bahwa dia seorang homeless tanpa ada resiko akan dijemput oleh petugas dinas sosial karena dia tunawisma.

Di hari interview untuk beasiswa di kantor New York Times, Liz menemui kakaknya. Kakaknya bertanya apa yang membawanya menemuinya. Liz mengatakan bahwa dia adalah finalis calon penerima beasiswa New York Times dan hari itu adalah waktu untuk interview tetapi dia tidak mempunyai sesuatu untuk digunakan untuk itu dia berniat meminjam coat. Kembali terjadi percakapan sedih diantara mereka yang mengingatkan masa lalu mereka. Ibunya menjual coat kakaknya yang menyebabkan dia tidak bisa pergi ke sekolah padahal dia sangat ingin bersekolah. Kakaknya juga bertanya mengapa dia bisa mendapat kesempatan mendapat beasiswa padahal dia tidak pernah ke sekolah. Liz mengatakan dia mendapat peluang itu karena dia adalah homeless yang berprestasi di sekolahnya sekarang.

Di saat interview Liz membuat semua juri tercengang. Liz mengatakan bahwa semua pengalaman bersama ayah dan ibunya membuat dia bisa memahami bahwa hal-hal kecil pun bisa menghasilkan sesuatu yang baik. Dia bahkan tidak pernah bertanya-tanya mengapa semua kesulitan itu terjadi padanya. Dia tidak bertanya bukan karena tidak peduli, tetapi karena dia sudah tahu kenapa itu terjadi pada dirinya. Dan kalau dia tidak mengeluh bukan berarti karena dia tidak sedih dengan itu. Hampir sepanjang waktunya dia sedih, tetapi dia bisa menerima itu semua. Tetapi dia juga tahu kalau dia harus keluar dari semua itu.

Salah satu pewawancara menanyakan apa masih ada yang ingin dia sampaikan ? Dan Liz menjawab bahwa ia sangat mencintai ibunya. Dan dia menegaskan lagi bahwa dia sangat mencintai ibunya. Walaupun dia seorang pecandu obat-obatan dan alkohol, juga buta dan pengidap schizophrenia tetapi Liz tidak akan pernah lupa bahwa ibunya juga mencintainya sepanjang waktu, selama-lamanya. Liz juga kembali menegaskan kalau dia sangat membutuhkan beasiswa itu, dan dia tidak bisa kuliah tanpa beasiswa itu.  Jawaban itu menggugah semua juri dan memutuskan memilih Liz sebagai penerima beasiswa itu.

Di akhir film, saat pengumuman, perwakilan NYT membacakan : “Dia mendapat nilai rata-rata 95 dan menjadi siswa terbaik dari 150 siswa di kelasnya. Dia menyelesaikan 4 tahun SMU hanya dalam 2 tahun. Dan dia melakukan itu semua di kala tidak mempunyai tempat tinggal, ketika ibunya meninggal dunia dan ayahnya menjadi seorang pecandu narkoba yang hanya tinggal di penampungan. Dan saya harus adil dengan prestasinya jadi saya memperkenalkan kepada anda pemenang beasiswa New York Times keenam, Liz Murray”

Liz : “Semuanya berubah. Hidup saya tidak akan sama lagi dengan sebelumnya. Saya tidak tahu harus berkata apa kecuali terima kasih. Terima kasih banyak”.

Wartawan : “Liz, bagaimana kau bisa melakukan semua ini”

Liz : “Orang tua saya menunjukkan itu”

Wartawan : “Pernah merasa menyesal ? Tidur di stasiun subway atau makan dari tempat sampah ?”

Liz : “Semua menjadi bagian hidup saya. Dan saya merasa beruntung karena semua itu memaksa saya untuk melihat ke depan. Harus terus ke depan dan tidak balik ke belakang, sampai saya mencapai satu titik dan mengatakan saya harus bekerja sekeras mungkin dan kemudian menunggu apa yang akan terjadi. Dan sekarang saya akan kuliah di Harvard, dan New York Times yang akan membayarnya”

Wartawan : “Kau memang beruntung, tetapi adakah yang ingin kau rubah jika kau bisa melakukannya ?”

Dengan menahan air matanya, Liz menjawab “ Iya kalau ada yang bisa saya rubah, saya ingin keluarga saya semua kembali”. Dan semua orang di ruangan itu memberikan standing applause.

1 comment:

  1. Nice kak, I'll be motivated after read this synopsis film. Thankyouu so much minn❤❤

    ReplyDelete