Homeless to Harvard
adalah film yang diangkat dari kisah nyata Elizabeth “Liz” Murray yang sangat inspiratif. Di film ini diceritakan bagaimana perjuangan Liz Murray gadis pintar yang
mempunyai ibu pecandu obat-obatan dan pengidap HIV harus tinggal di jalanan, di
subway dan station subway sampai di rumah penampungan para homeless, tetapi
bisa mendapat beasiswa dari New York Times untuk kuliah di Harvard yang
merupakan kampus bergengsi di dunia dengan memenangkan kontes penulisan essay
yang diadakan oleh New York Times. Film ini diproduksi tahun 2003.
Film ini dimulai dengan ibu Liz
Murray yang merampas uang 100 dollar dari kakak perempuan Liz Murray yang
merupakan uang untuk hidup beberapa hari bahkan mungkin beberapa bulan ke depan
untuk membeli narkoba. Liz Murray dan kakaknya mencoba meyakinkan ibunya bahwa
uang itu untuk biaya hidup mereka, namun sang ibu yang sudah sakaw tidak bisa
lagi berpikir sehat untuk semua itu. Mereka berebutan dan membuat rumah mereka
sangat berantakan. Sementara sang ayah tidak mempedulikan semua kekacauan itu
dan hanya membaca bukunya dan menjawab soal-soal di kuis Jeopardy dengan tepat.
Liz Murray yang melihat ibunya kesakitan akibat sakau akhirnya mau memberikan
uang itu. Ketika istrinya berhasil mendapat uang itu, si suami menemani sang
istri untuk membeli obat-obatan itu. Sudah bisa terbayang khan kondisi yang
sangat buruk bagi seorang perempuan kecil. Beberapa hari kemudian polisi dan
petugas kesehatan mendatangi rumah Liz Murray dan membawa ibunya ke rumah sakit
untuk terapi dari ketergantungan obat-obatan.
Keesokan harinya Liz Murray ke
sekolah yang merupakan kehadiran ke-3 di bulan itu. Liz Murray di sekolah
menjadi cemoohan kawan-kawannya karena bau badannya, pakaiannya tidak diganti
dan Liz Murray jarang mandi. Bahkan ketika akan diadakan test, gurunya akan
menarik kembali soal yang dibagikan kepada Liz Murray karena yakin Liz Murray
tidak akan mampu menyelesaikan soal tersebut. Liz Murray berhasil meyakinkan
ibu guru bahwa soal tidak terlalu susah dan dia dapat mengerjakannya. Di akhir
kelas ibu guru menahan Liz Murray sejenak untuk memberi beberapa potong pakaian
bekas dan mengingatkan untuk mandi. Ibu guru juga memberikan hasil test yang
tertulis nilai 100, perfect. Ibu guru jadi penasaran dan bertanya bagaimana dia
bisa menyelesaikan soal test dengan sempurna padahal dia tidak pernah ke
sekolah ? Liz Murray menjelaskan kalau dia diberikan satu paket ensiklopedi
yang dipungut dari tempat sampah seorang wanita tua bernama Eva yang merupakan
tetangga flatnya memberikannya. Dan Liz Murray sudah membaca semuanya kecuali ensiklopedi
dengan indeks R-S.
Ketika Liz Murray pulang dia
memperlihatkan nilainya dengan bangga kepada Eva yang telah memberikannya
ensiklopedi, Eva berpesan supaya jangan menjadi anak idiot dan menginfokan
kalau ibunya sudah kembali. Mendengar ibunya kembali Liz Murray sangat senang
dan berlari ke flat mereka untuk bertemu dengan ibunya dan memperlihatkan hasil
testnya yang perfect. Liz Murray sangat bahagia bisa berkumpul kembali dengan
ibunya yang berangsur mulai terlepas dari narkoba. Namun kembali Liz Murray
harus dihadapkan dengan kondisi sulit, ibunya di vonis mengidap HIV dan dia
akan pindah ke rumah kakeknya.
Karena kondisi ayahnya seorang
pengangguran dan rumah yang sangat kotor, berantakan dan tidak terurus dan juga
laporan dari sekolah kalau Liz Murray Murray tidak pernah ke sekolah akhirnya petugas
dari dinas sosial akhirnya memutuskan untuk mengirim Liz Murray ke tempat
penampungan anak-anak. Di tempat ini kondisinya jauh lebih buruk. Liz Murray
kadang menjadi korban bully senior-senior di penampungan itu. Dia juga beberapa
kali harus melihat tindakan penyiksaan bahkan usaha pembunuhan dari sesama
penghuni penampungan itu.
Tidak tahan dengan kondisi itu,
Liz Murray akhirnya harus kabur dari tempat itu dan menyusul ibunya di rumah
kakeknya. Di rumah kakeknya Liz Murray sudah sedikit menikmati kebersamaan
dengan ibunya kembali dan mulai bergaul dengan teman-teman sekolahnya. Tapi
ketika kondisi ibunya terus memburuk Liz Murray harus merawat ibunya dan
lagi-lagi dia harus mengorbankan sekolahnya. Sikap temperament kakeknya juga
membuat akhirnya Liz Murray harus diusir dari rumah itu dan saat itulah di usia
15 tahun Liz Murray resmi menjadi homeless. Bersama teman sekolahnya Chris
(Makyla Smith) yang juga tidak mempunyai tempat tinggal mereka tinggal di jalan,
di halte bus, stasiun subway dan dimana saja mereka dapat berteduh dengan
mengandalkan pemberian orang dengan mengemis untuk bertahan hidup. Kadang
mereka berdua harus mencuri di minimarket untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Yang mengagumkan dalam kondisi homeless dan tidak ada kepastian tentang
masa depan Liz Murray tidak berhenti untuk membaca apa saja dan dimana saja.
Beberapa hari kemudian ketika dia
akan menemui ibunya dia mengetahui kalau ibunya sudah meninggal. Penguburannya
bahkan sangat sederhana dan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.
Tetapi rupanya ini yang peristiwa
ini menjadi titik balik bagi Liz Murray. Liz menyadari bahwa sekarang saatnya untuk
memperhatikan dan peduli pada dirinya dan masa depannya sendiri. Liz akhirnya
memutuskan untuk kembali ke bersekolah dan dia memilih menumpang di kediaman
Eva, wanita pemberi ensiklopedi dan berpesan supaya tidak menjadi idiot.
Keesokan harinya dia ke sekolah
untuk mendaftar tetapi dia terlambat, satu jam dari perjanjian yang dibuat
dengan pihak sekolah. Alasan yang coba dibuat tentang keterlambatannya tidak
diterima. Dia diberitahu oleh pihak admin sekolah bahwa kelasnya sudah hampir
penuh dan sudah berjalan 3 minggu. Namun dia berhasil meyakinkan pihak admin
bahwa dia sangat membutuhkan kesempatan untuk sekolah. Akhirnya dia diberikan
kesempatan untuk berbicara dengan David yang merupakan decision maker, yang sedang mengajar. Sambil menunggu David Liz
Murray mengisi formulirnya bahkan membuat essay yang disyaratkan.
Setelah mengajar David terlihat
sibuk dan tidak menerima Liz lagi. Namun Liz meminta hanya 30 detik untuk
berbicara dengan David. David mengatakan siswa harus menulis essay yang panjang
dan Liz memperlihatkan kalau dia sudah menulisnya. Kahirnya Dvid pun memberikan
kesempatan kepada Liz untuk berbicara. Di perbincangan itu Liz Murray
menjelaskan latar belakang keluarganya dan latar belakang pendidikannya. Liz
menjelaskan dengan baik bahkan berhasil meyakinkan David bahwa dia pintar, dia
bisa sukses tapi dia membutuhkan kesempatan untuk diterima bersekolah. Liz
Murray berhasil membuat David simpati dengan Liz. Akhirnya dia pun diterima.
Di kelas ini Liz Murray kembali
menunjukkan bahwa dia memang sangat cerdas. Bekal pengetahuannya dari sering
membaca membuatnya bisa menjawab soal-soal yang diberikan di kelas dan membuat
David selaku guru tercengang. Suatu hari siswanya bertanya apa mengapa mereka
tidak menggunakan textbook dalam belajar melainkan hanya paper-paper ? Tetapi
David balik bertanya kepada siswanya menurut mereka mengapa kelasnya tidak
menggunakan textbook dalam belajar.
Jawaban salah satu temannya
“karena textbook terlalu berat untuk dibawa”. Jawaban yang lain “karena sekolah
tidak mampu membeli textbook yang harganya mahal”.
Tidak puas dengan jawaban kedua
siswanya David melemparkan sebuah textbook kepada Liz dan bertanya apa yang
diliat di textbook itu. Liz menjawab, bahwa yang dilihat adalah kata-kata.
David bertanya, “kata-kata apa ?” “Kata-kata dari seorang author” jawab Liz. Terus
David bertanya apa bedanya dengan paper yang dia pegang. ? Jawab Liz, “di paper
itu kata-kata banyak penulis”. David bertanya, “terus mengapa mereka
menggunakan paper dan bukan textbook ? Liz menjawab “karena satu dari satu
orang hanya memberi satu penjelasan dari satu dimensi”. Dan jawaban itu membuat
Liz mendapat banyak hadiah dari David.
Liz Murray juga mengambil kelas
terbanyak diantara semua murid-murid yang lain. Dia mentargetkan untuk menyelesaikan
sekolah 4 tahun itu hanya dalam 2 tahun. Selain mengambil jumlah pelajaran yang lebih
banyak Liz juga harus kerja keras sebagai pencuci piring di restoran untuk
membiayai hidupnya. Ia menyempatkan mengerjakan tugas-tugas sekolah sebaik
mungkin, Kadang dia harus tinggal di sekolah sampai malam. Dia juga mengisi
waktu perjalanan di subway dengan membaca atau mengerjakan tugas. Selain itu
dia juga menempelkan kertas-kertas materi pelajarannya di dinding saat mencuci
piring sehingga bisa terus belajar dan membaca materi-materi itu.
Karena Liz adalah siswa terbaik
di kelasnya dia diberi kesempatan bersama teman-temannya untuk berkunjung ke Boston untuk melihat
universitas-universitas di Boston selama 5 hari. Di Harvard University semua
murid tercengang dengan kampus top dunia itu. David memberi motivasi bahwa dia
bisa kuliah di Harvard dan itu bukan hal yang tidak mungkin.
Sepulang dari Harvard, Liz
memeriksa semua brosur-brosur yang menginformasikan beasiswa. Dan Dona
memperlihatkan sebuah brosur dari New York Times yang akan memberikan beasiswa
sebesar USD 12,000 setahun selama 4 tahun. Dan seperti syarat beasiswa umumnya
pelamar harus menyertakan essay singkat yang menggambarkan apa yang akan
dicapai sebagai prestasi akademik yang paling signifikan, juga menggambarkan
bagaimana menghadapi tantangan atau hambatan.
Dalam essaynya Liz menulis
mungkin terlihat gila, tetapi dia tidak punya pilihan, dia harus melakukan
semua hal untuk bisa mendapatkan beasiswa itu walaupun harus mengerahkan semua
potensinya. Dia harus kuliah di Harvard untuk membaca buku-buku terbaik di sana dan mengembangkan
potensi dirinya. Dia ingin menjadi sejajar dengan orang lain dan tidak berada
di bawah mereka walaupun dia lahir dari keluarga yang broken home bahkan homeless.
Satu hari menjelang deadline
aplikasi beasiswa tepat di ulang tahunnya yang ke 18, Liz meminta Dona
memberikan stempel di aplikasi beasiswanya. Dona heran karena Liz telah membaca
info itu 4 bulan yang lalu tetapi baru akan mengirimnya satu hari menjelang
penutupan pendaftaran padahal beasiswa tersebut tidak mensyaratkan usia. Kepada
Dona Liz mengatakan kalau dia menunggu waktu spesial itu untuk mengirim berkas
tersebut. Mungkin sebagai hadiah untuk diri sendiri. Tetapi ada alasan lain
yang tidak dikatakan kepada Dona, bahwa dengan usia 18 tahun dia bebas berkata
jujur bahwa dia seorang homeless tanpa ada resiko akan dijemput oleh petugas
dinas sosial karena dia tunawisma.
Di hari interview untuk beasiswa
di kantor New York Times, Liz menemui kakaknya. Kakaknya bertanya apa yang
membawanya menemuinya. Liz mengatakan bahwa dia adalah finalis calon penerima
beasiswa New York Times dan hari itu adalah waktu untuk interview tetapi dia
tidak mempunyai sesuatu untuk digunakan untuk itu dia berniat meminjam coat.
Kembali terjadi percakapan sedih diantara mereka yang mengingatkan masa lalu
mereka. Ibunya menjual coat kakaknya yang menyebabkan dia tidak bisa pergi ke
sekolah padahal dia sangat ingin bersekolah. Kakaknya juga bertanya mengapa dia
bisa mendapat kesempatan mendapat beasiswa padahal dia tidak pernah ke sekolah.
Liz mengatakan dia mendapat peluang itu karena dia adalah homeless yang
berprestasi di sekolahnya sekarang.
Di saat interview Liz membuat
semua juri tercengang. Liz mengatakan bahwa semua pengalaman bersama ayah dan
ibunya membuat dia bisa memahami bahwa hal-hal kecil pun bisa menghasilkan
sesuatu yang baik. Dia bahkan tidak pernah bertanya-tanya mengapa semua
kesulitan itu terjadi padanya. Dia tidak bertanya bukan karena tidak peduli,
tetapi karena dia sudah tahu kenapa itu terjadi pada dirinya. Dan kalau dia
tidak mengeluh bukan berarti karena dia tidak sedih dengan itu. Hampir
sepanjang waktunya dia sedih, tetapi dia bisa menerima itu semua. Tetapi dia
juga tahu kalau dia harus keluar dari semua itu.
Salah satu pewawancara menanyakan
apa masih ada yang ingin dia sampaikan ? Dan Liz menjawab bahwa ia sangat
mencintai ibunya. Dan dia menegaskan lagi bahwa dia sangat mencintai ibunya.
Walaupun dia seorang pecandu obat-obatan dan alkohol, juga buta dan pengidap
schizophrenia tetapi Liz tidak akan pernah lupa bahwa ibunya juga mencintainya
sepanjang waktu, selama-lamanya. Liz juga kembali menegaskan kalau dia sangat
membutuhkan beasiswa itu, dan dia tidak bisa kuliah tanpa beasiswa itu. Jawaban itu menggugah semua juri dan
memutuskan memilih Liz sebagai penerima beasiswa itu.
Di akhir film, saat pengumuman,
perwakilan NYT membacakan : “Dia mendapat nilai rata-rata 95 dan menjadi siswa
terbaik dari 150 siswa di kelasnya. Dia menyelesaikan 4 tahun SMU hanya dalam 2
tahun. Dan dia melakukan itu semua di kala tidak mempunyai tempat tinggal,
ketika ibunya meninggal dunia dan ayahnya menjadi seorang pecandu narkoba yang
hanya tinggal di penampungan. Dan saya harus adil dengan prestasinya jadi saya
memperkenalkan kepada anda pemenang beasiswa New York Times keenam, Liz Murray”
Liz : “Semuanya berubah. Hidup
saya tidak akan sama lagi dengan sebelumnya. Saya tidak tahu harus berkata apa
kecuali terima kasih. Terima kasih banyak”.
Wartawan : “Liz, bagaimana kau
bisa melakukan semua ini”
Liz : “Orang tua saya menunjukkan
itu”
Wartawan : “Pernah merasa
menyesal ? Tidur di stasiun subway atau makan dari tempat sampah ?”
Liz : “Semua menjadi bagian hidup
saya. Dan saya merasa beruntung karena semua itu memaksa saya untuk melihat ke
depan. Harus terus ke depan dan tidak balik ke belakang, sampai saya mencapai
satu titik dan mengatakan saya harus bekerja sekeras mungkin dan kemudian
menunggu apa yang akan terjadi. Dan sekarang saya akan kuliah di Harvard, dan New
York Times yang akan membayarnya”
Wartawan : “Kau memang beruntung,
tetapi adakah yang ingin kau rubah jika kau bisa melakukannya ?”
Dengan menahan air matanya, Liz
menjawab “ Iya kalau ada yang bisa saya rubah, saya ingin keluarga saya semua
kembali”. Dan semua orang di ruangan itu memberikan standing applause.
Nice kak, I'll be motivated after read this synopsis film. Thankyouu so much minn❤❤
ReplyDelete